Cermin

>> Tuesday, December 26, 2006

Kalau disuruh memilih cermin atau teropong, saya akan memilih cermin.

Ada sebuah kisah tentang seorang raja dan gurunya. Alkisah, suatu hari, sang raja diuji oleh gurunya itu dalam tiga tahap ujian. Dua tahap pertama dilalui sang raja yang alim itu tanpa kesulitan berarti. Nilai yang didapatnya pun bagus. Sang guru puas. Tibalah saatnya, sang raja mendapat ujian yang penghabisan. Berbeda dengan dua tahap ujian yang dahulu, kali ini sang raja hanya mendapat satu soal pertanyaan: “Siapakah yang paling buruk di dunia ini?” Oleh gurunya, sang raja diberi waktu sebulan buat menjawab pertanyaan itu.

Maka keluarlah ia dari gerbang istananya yang megah menuju sebuah pasar, guna mencari yang terburuk di dunia ini. Lorong-lorong pasar yang becek, kumuh, dan lembab itu pun disusuri sang raja dengan sebuah semangat untuk mencari kebenaran. Di sebuah sudut di pasar, ia melihat seorang sedang mencuri barang dagangan milik orang lain. Beberapa lama diamatinya orang itu sambil berpikir. Sang raja merasa telah mendapat jawaban dari pertanyaan gurunya.

“Pastilah si pencuri ini yang merupakan makhluk terburuk di dunia ini. Sebab, kerjanya hanya mencuri milik orang lain saja. Maka menumpuklah dosanya,” demikian gumam sang raja. Sang raja kemudian pulang, hendak menemui gurunya. Ketika hendak menyampaikan jawaban itu, tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benak sang raja: “Bukankah manusia tadi hanyalah seorang pencuri? Bukankah ketika suatu saat nanti ia bertobat maka dosanya akan diampuni? Bukankah ketika ia mati bukan lagi sebagai pencuri, maka ia tak lagi jadi makhluk yang buruk?” Sang raja bimbang. Dalam kebimbangannya itu, ia membatalkan menemui gurunya untuk menyampaikan jawaban.

Ia kemudian mencari jawaban yang lain. Ditempuhnya perjalanan menuju kampung-kampung yang dahulu tak pernah dijamahnya. Lalu ia bersua dengan seorang yang sedang minum minuman keras sampai mabuk. Diamatinya orang itu, sambil otaknya berpikir. Maka ia merasa telah menemukan jawaban. “Inilah yang terburuk di dunia ini. Kerjanya cuma mabuk-mabukan belaka. Tak pernah sembahyang, tak pernah beramal soleh. Pastilah dosanya menumpuk!”

Dengan senyum puas ia kemudian pulang, hendak menyampaikan penemuannya itu. Tapi kemudian kebimbangan lagi-lagi datang. “Bukankah ketika orang itu menghentikan kebiasaannya mabuk-mabukan, maka ia tak akan jadi yang terburuk? Bukankah ketika ia bertaubat dan kemudian sembahyang dan beramal saleh maka ia justru jadi hamba yang taat kepada Tuhan? Kalau itu terjadi, ia bukanlah makhluk yang buruk.”

Maka turunlah lagi ia dari istananya. Kali ini menuju sawah. Dilihatnya seekor kerbau yang sedang bermandikan lumpur. Kotor, bau, dan menjijikkan. Maka seraya mendapat ilham, sang raja kemudian menyimpulkan: “Makhluk inilah yang terburuk. Tak pernah mandi dengan air yang bersih sehingga badannya sangat amat kotor dan berbau tak sedap!” Sesaat terlintas bahwa ia akan menyelesaikan ujiannya dengan nilai yang baik. Tapi kemudian kebimbangan itu datang lagi. “Benarkah makhluk ini yang terburuk? Bagaimana seandainya ia kemudian mandi dan membersihkan badannya? Bukankah ia tak akan lagi kotor, bau, dan menjijikkan? Lalu, saat itu, masihkah ia jadi makhluk yang buruk?”

Ketika kebimbangan itu kembali datang, sang raja memutuskan pulang ke istana. Sampai di istana, ia segera menemui gurunya. Kepada gurunya, ia pun menyampaikan jawaban: “Bagi saya, makhluk yang terburuk di dunia ini bisa jadi adalah saya. Sebab meski saya adalah seorang raja yang kaya raya, tunduk pada Tuhan, dan mengabdi kepada rakyat, tapi suatu saat saya bisa berubah. Sekarang mungkin saya seorang raja yang ideal. Tapi siapa tahu suatu saat saya akan berubah jadi orang yang dzalim dan tidak berbudi? Pada saat itulah saya akan menjadi makhluk yang terburuk.”

Kisah sederhana itu disampaikan oleh seorang kawan saya di depan anak-anak TPA di kampung saya. Meski sederhana, kisah itu punya makna yang dalam. Kenapa akhirnya sang raja memilih dirinya sendiri untuk dikatakan sebagai yang terburuk di dunia ini? Kenapa ia tak memilih orang lain? Sebab sang raja memilih mengoreksi dirinya sendiri dari pada mengoreksi orang lain. Sang raja akhirnya tahu bahwa melihat dan menilai kesalahan orang lain sembari melakukan inventarisasi terhadapnya, hanyalah sebuah kesia-siaan. Menilai orang lain ketika ia melakukan kesalahan, sebenarnya adalah hal yang tak perlu.

Maka saya bayangkan ketika sang raja disuruh memilih cermin atau teropong, pasti ia akan memilih cermin. Sebab ketika kita memandang cermin, kita akan melihat diri kita sendiri. Tubuh dan kesalahan serta kekurangan kita lah yang akan kita lihat. Dan pada akhirnya, kesalahan-kesalahan sendirilah yang akan kita pahami. Tapi ketika kita menggunakan teropong, orang lain yang terlihat. Lalu kita akan berhasrat meneliti tiap inci dari orang lain. Tiap gerak dan tuturnya seolah hendak kita rekam dengan detail. Kemudian kita hendak menyimpulkan hasil pengamatan itu dalam terminologi “baik” atau “buruk”.

Kalau disuruh memilih cermin atau teropong, saya akan memilih cermin.

Sukoharjo, 25 Desember 2006
Haris Firdaus

2 comments:

Nanang Musha December 29, 2006 at 5:39:00 PM GMT+8  

tulisan yang menarik mas. refleksinya mendalam. salam kenal dari saya.

oia, bolehkah saya minta alamat imel anda? hendak saling sapa sebagai sesama 'warga' Solo.

Haris Firdaus January 9, 2007 at 8:33:00 AM GMT+8  

thanks mas musha. tiap manusia emang dilahirkan untuk berrefleksi kan?

email saya: aku290386@yahoo.com

Post a Comment

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP